eM-Saying

Akhirnya, bisa balik lagi setelah sekian abad bertapa di rumah^Silakan comment ya, ntar dibales kok

Kamis, Mei 15, 2008

Ketika Untuk Pertama Kali Mataku Melukiskan Kerasnya Kehidupan


Tiit. Tiit.

Bunyi nyaring klakson dari berbagai jenis kendaraan menyesaki indra pendengaran. Taburan debu yang dihempaskan sang angin semakin menambah penyengsaraan di siang dengan matahari menerik seperti sekarang ini. Melaku bersama taksi hijau, aku yang mendapat tempat di samping sopir tak henti-hentinya menghirup the botol yang dibeli di pinggir jalan. Kerah putih dari baju seragam yang kupakai menghitam tanah. Belum lagi aroma keringat yang menempel erat dan kaki yang gatal karena kaos kaki yang tidak sempat dicuci pada hari Minggu kemaren. Huff, benar-benar penderitaan.

“Kiri, Pir.”

Taksi melambat, dan akhirnya berhenti di depan gerobak penjual kentang goreng Tela-Tela. Setelah menyodorkan selembar seribuan aku berlari ke sisi jalan yang lebih teduh. Nampak deretan panjang mobil membatu tanpa gerak dengan traffic light menyala merah. Untung tadi sempat lewat.

Kebetulan saat melangkah aku mendapati ice box penuh minuman dingin di depan sebuah toko. Dan, tanpa bisa kujelaskan mendetail, hasrat untuk minum kembali menggelora. Kuperiksa isi dompet, masih tersisa tujuh ribu. Ahh, tak apalah, lima ribu juga sudah cukup untuk membayar ojek menuju rumah.

Menggenggam sebotol Sprite, kembali kugerakkan kaki ini mendekati pangkalan ojek. Baru beberapa langkah, sudut terdalam dari lensa mataku mendapati seorang anak, mungkin lebih muda tiga tahun dariku, berlari-lari dengan wajah cerah yang tersabut debu menuju sebuah warung makan kecil. Nampaknya anak itu baru saja mendapat uang untuk mengganjal perut kosongnya hari ini.

Tersenyum, aku berjalan lagii dengan langkah yang lebih pelan. Sudah lama aku melihat anak itu berkeliaran di dekat traffic light, dengan pakaian kumal yang sepertinya tak pernah, atau mungkin lebih tepatnya tak bisa diganti. Aku terus memperhatikannya, nampak anak itu memilih untuk menyantap makan siang yang juga makan pagi dan malamnya itu di trotoar yang ternaungi rimbunan daun.

Setelah beberapa suapan, tanpa diduga, seekor kucing malang terseok mendekatinya. Kucing itu mengeong penuh penderitaan. Tanpa kuduga, ya, di luar logikaku, anak itu langsung menghamparkan nasi bungkusnya untuk si kucing malang.

“Kamu juga lapar kan ? Kok malah dikasih sama kucing ?” tanyaku yang sudah berdiri di belakangnya.

“Kasihan.”

Hanya itu, tanpa nada penyesalan dia mengatakannya. Aku mengangkat sedikit alis, lalu berlalu meninggalkan kedua makhluk aneh itu.

Siang masih terik. 'Kasihan', kata itu kembali terlintas di kepalaku. Kembali tersenyum, aku mendekati warung makan untuk membeli sebungkus nasi dengan uang lima ribu rupiah yang tersisa.

“Nih,” kuberikan nasi itu padanya. Terlihat ia menatap heran ke arahku, tapi aku lebih suka menyebut ekspresi itu dengan 'kagum'. Aku membelakanginya, untuk selanjutnya pulang ke rumah yang berjarak dua kilometer hanya dengan berjalan kaki.

“Susah juga jadi orang baik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar