eM-Saying

Akhirnya, bisa balik lagi setelah sekian abad bertapa di rumah^Silakan comment ya, ntar dibales kok

Minggu, Mei 04, 2008

Tiga Episode Untuk Satu Ikatan

Langit malam menyelubungi kepekatan alam yang membentang tanpa batas. Kilau kecil dari lembutnya para bintang menghias gelap dengan taburan kuning kemerahannya. Semarak awan hitam bergerak pelan ke sudut menenggara, mengikuti saja arah sang angin yang berembus kencang tanpa suara.

Besok jadi kan ?”

Iyya, ntar tunggu aja sekitar jam sepuluh di Zahra.”

Perlu aku yang jemput ?”

Nggak usah, aku juga ada keperluan lain, jadi sekalian aja branchnya di sana.”

Hmm, kalo boleh tau, apaan sih yang mau kamu bicarain ?”

Besok aja kali ngasih taunya.”

Yeiy, pake acara rahasia-rahasiaan segala.”

Ya…, gitu deh. Lagian kamu nggak mau ngasih tau yang bakalan kita omongin di sana kan.”

Hehe, same as u dong.”

Ya udah, kayaknya aku mau langsung tidur aja deh. Soalnya nih mata udah kelilipan.”

Ooh, gitu. Nice dream aja deh dari aku, and see you after today.”

See you too.”

Reynald memutus percakapan. Setelah meletakkan handphone di atas meja, cowok itu langsung merebahkan diri bersama kasur busanya.

Huff.”

Atmosfer malam yang pekat masih bersih dari gores biru menyilaukan. Sesekali terdengar gemuruh berat dari derasnya sepoi hening, membekukan sunyi malam yang sebenarnya belum terjamahkan oleh tetesan air hujan.

Di kamarnya, Reynald memperhatikan tanpa kedip sebuah bingkai jati kecil dengan ukiran sederhana. Bingkai yang dihiasi oleh senyum seorang cewek berambut sebahu yang selama tiga minggu terakhir ini selalu membayang di lensa matanya.

$$$

Matahari sudah lama menyembul dari sudut timur yang tersamarkan. Di salah satu ­seat fast food Zahra, Reynald duduk dengan gelisah. Berulang kali cowok itu melirik jam tangan, handphone dan jam dinding yang bertengger di dinding tembok. Pukul sembilan lewat lima puluh menit, sepuluh menit lebih awal dari jadwal yang dijanjikan. Tapi entah kenapa waktu sepuluh menit itu terasa begitu panjang buat Reynald yang tengah menunggu kehadiran’nya’.

Pesen apa, Mas ?” tegur seorang pelayan dengan senyum yang terkesan sangat dipaksakan. Ini sudah keempat kalinya si pelayan menghampiri Reynald yang sejak dua puluh menit berlalu belum memesan apapun.

Saya lagi nunggu temen,” jawab Reynald dengan kalimat serupa, membuat si pelayan kembali harus menyingkir bersama wajah kekinya.

Pintu kaca yang semula hanya merefleksikan rembesan air hujan perlahan terdorong oleh sebuah sentuhan lembut. Cewek yang baru masuk itu menyapu pandangan untuk kemudian tersenyum begitu mendapati Reynald yang tengah duduk menunggu.

Aku pesen makanan dulu ya,” Reynald bangkit begitu Isna duduk di hadapannya. Cowok itu melangkah mendekati counter pemesanan.

Dejjaznya dua ya, yang pedes.”

Minumnya ?”

Orange juice aja.”

Udah dateng ya yang ditunggu ?”

Reynald melirik ke asal suara, pelayan yang tadi.

Hmm, setelah dua puluh menit.”

Ya, setelah empat kali diinterogasi,” si pelayan tersenyum sambil menyerahkan pesanan Reynald.

Makasih,” Reynald menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan.

You are welcome.”

Cepat Reynald kembali ke mejanya.

Udah lama ya nunggu aku ?” suara Isna mengawali perbincangan.

Ah, nggak juga,” Reynald mulai mengunyah suapan pertamanya. “Dari mana ?”

Rumah temen, ngembaliin buku-buku yang pernah aku pinjem.”

Oooh.”

Isna terus menikmati hidangan di hadapannya. Reynald juga melakukan hal yang sama, tapi dengan sesekali mencuri pandang ke arah si cewek. Rambut sebahu yang tergerai itu, bola mata yang bersih itu, huff.., entah kenapa Reynald nggak pernah bisa ngerasa tenang kalau ada di dekatnya.

Tiga puluh menit berlalu, tanpa ada satu ucapan yang terlontar dari lidah mereka berdua. Isna hanya memperhatikan santapannya, tanpa terlihat ada niat untuk memecah keheningan yang menyesakkan ini. Reynald yang sejak tadi gelisah tampak bingung dengan apa yang ingin dikatakannya.

Is,” akhirnya hanya itu yang terdengar.

Ya ?” Isna menyedot beberapa teguk orange juice, mengelap mulut, lalu, setelah sekian lama, menatap pada Reynald. “Eia, tadi malem katanya kamu mau ngomongin sesuatu.”

Isna aja deh yang duluan.”

Tapi kayaknya lebih enak kalo Rey yang ngomong sebelum aku deh.”

Hmm, begitu ya.”

Reynald menelusupkan telapak tangan kirinya ke dalam saku, keluar dengan menggenggam sebuah kotak persegi berwarna merah.

Aku nggak terlalu pinter ngebikin kata-kata yang romantis,” Reynald membuka kotak itu, sebuah cincin perak berhiaskan berlian memantulkan kilau lemah yang mengarah padanya.

Udah lama Is, aku mencari soulmate yang ditakdirin sebagai penjelmaan tulang rusukku yang hilang. Sembilan belas tahun, dan aku rasa tenggang itu nggak bisa dibilang pendek. Sebenernya aku nggak punya bukti yang bisa ngejelasin semua ini, tapi entahlah, belakangan ini aku punya feeling kuat kalo ternyata kamulah tulang rusuk yang hilang itu.”

Reynald melepas cincin perak dari tempatnya bersarang, menyodorkan benda itu ke jari Isna untuk kemudian mengabadi di sana.

Isna menarik tangannya dari jemari Reynald. Cewek itu tersenyum dalam rembesan air mata yang tak tertahankan. Perlahan, Isna mendekatkan bibirnya ke telinga Reynald, membisikkan satu kalimat yang ternyata membekas dalam bersama keperihan.

$$$

Matahari bersinar terang di tengah-tengah hiruk-pikuk kebisingan kota. Cahaya membaranya yang tak terhalaukan oleh sekoloni awan menyebarkan sayap-sayap keperkasaan dengan pongahnya. Langit membiru, dengan beberapa kelompok awan pekat yang bergulung pelan ke arahnya.

Dihimpit oleh rutinitas bandara Syamsuddin Noor, gelisah Isna duduk di bangku tunggu dengan ditemani kakak dan kedua orang tuanya. Jam tangan di lengan kirinya sudah menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Beberapa detik lagi mungkin panggilan keberangkatan akan terdengar.

Kepada seluruh penumpang…

Lemas Isna mendengar dengung itu. Tanpa semangat dia bangkit dari bangku, melangkah ke arah pintu keberangkatan diantar oleh keluarga. Isna nampak berat menghadapi gerbang perpisahan yang menjulang di hadapannya. Isna menoleh ke belakang, dengan sedikit harapan untuk sempat mengucapkan salam perpisahan.

Di sana Reynald mematung dalam diam.

Tanpa menyia-nyiakan waktu yang tersisa lebih lama lagi, Isna menghambur ke hadapan Reynald. Cewek itu memeluk erat Reynald, dengan bulir bening yang menetes tanpa jeda.

Hati-hati di sana ya, Is.”

Isna melepas pelukan, mengusap linangan yang tersisa dengan punggung tangannya.

Sorry ya, Rey. Baru aja kita mulai, tapi aku udah bikin kamu kecewa,” suara Isna masih dengan sedikit isakan.

Nggak kok, kamu nggak pernah bikin aku kecewa. Aku malah bahagia kamu bisa ngewujudin planning kamu buat nerusin kuliah di UI.”

Lembut Reynald mengecup dahi bersih Isna.

Don’t forget me. I’ll miss u ever after.”

Never forget you, I’m promise.”

Isna melangkah ringan melewati batas perpisahan. Cewek itu tersenyum, dengan cincin perak berhiaskan berlian melingkar di jari manis tangan kirinya.

Langit mendung, bersama gerimis halus yang membasahi tanah kering tanpa kehidupan.

cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar